Donor Darah di Jepang

oleh F. Agustimahir


Bagi sebagian orang, donor darah bukanlah hal yang aneh atau perlu untuk diceritakan. Termasuk bagi saya sendiri. Namun kali ini sedikit berbeda. 

Tahun 2006 adalah tahun dimana saya bersentuhan dengan kegiatan donor darah untuk pertama kali. Saya yang mahasiswa tingkat awal saat itu, tertarik ketika melihat spanduk donor darah yang diselenggarakan oleh KSR PMI unit UPI. Ternyata, kegiatan donor darah rutin diselenggarakan di kampus kami. 

Sejak saat itu, saya selalu menyempatkan untuk donor darah dan mengajak kawan serta keluarga untuk rutin donor darah. Hingga saat ini. 

Pada Agustus 2016 saya pertama kali menginjakkan kaki di Jepang. Saya ingin menjaga kebiasaan donor darah tersebut meski tinggal di Jepang. Tapi ternyata hal itu tidak mudah. 

Hampir 3-4 kali percobaan donor darah saya selalu ditolak. Jarak antar percobaan sekitar 1-2 bulan. Awalnya, saya berpikiran buruk. Jangan-jangan Palang Merah Jepang tidak mau menerima darah dari orang asing. Hmmm. 

Saya sempat baca beberapa artikel tentang orang asing yang melakukan donor darah di Jepang. Dari berbagai kesan yang ada di sana, ada satu yang sangat mirip satu sama lain.

Yaitu hambatan berdonor bagi orang asing yang tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang dan daerah asal atau negara lain yang pernah dikunjungi calon pendonor. 

Menurut situs web Palang Merah Jepang, mereka memohon pengertian atas penolakan donor darah bagi calon pendonor yang tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang karena angket wajib serta pemeriksaan dokter hanya dilakukan dalam bahasa Jepang. 

Sedikit berseberangan dengan pernyataan di atas, situs AJET justru menyediakan berbagai terjemahan dalam bahasa Inggris terkait kegiatan donor darah untuk membantu menjembatani masalah tersebut di atas.

Hanya saja, tindakan nyata di tiap cabang palang merah bisa saja berbeda. Menurut situs ini, ada yang menerima calon pendonor dengan kemampuan bahasa Jepang terbatas, ada juga yang menolak calon pendonor meski telah membawa ‘penerjemah’. 

Hambatan berikutnya adalah negara asal atau negara yang pernah dikunjungi calon pendonor. Demi memperkecil kemungkinan menyebarnya beberapa penyakit tertentu, calon pendonor dari negara tertentu atau yang pernah mengunjungi negara tertentu dalam kurun waktu yang ditentukan, tidak bisa melakukan donor darah.

Sepertinya jika sudah ditolak karena hal ini, berbesar hati saja ya, mungkin masih bisa donor di negara lain. 

Hambatan yang pertama tidak begitu terasa bagi saya. Hambatan yang kedua, ada sedikit pemeriksaan lebih lanjut terkait daerah asal. Saya diminta untuk menjelaskan pulau asal saya di Indonesia. Ini terkait dengan kemungkinan penularan penyakit malaria. Keduanya bukan hambatan berarti bagi saya. 

Nah, sebetulnya alasan dari seluruh penolakan bagi saya adalah rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Kasus serupa seringkali terjadi di Indonesia ketika saya mencoba donor darah saat berpuasa di bulan Ramadhan. 

Bedanya, saat itu tidak sedang bulan Ramadhan di Jepang. Perkiraan saya, mungkin kadar hemoglobin rendah karena pada masa awal ketibaan di Jepang saya jarang makan daging merah.

Saat itu saya masih belum tahu tempat-tempat yang menjual daging halal di Kofu. Protein hewani kebanyakan saya dapatkan dari hasil laut dan telur.

Di percobaan terakhir saat itu, petugas palang merah nampaknya sedikit iba pada saya. Dia pun menawarkan donor plasma dan keping darah, yang bisa dilakukan meski hemoglobin rendah. Saya belum pernah dengar soal ini selama melakukan donor darah di Indonesia.

Tapi tawaran itu saya tolak karena ternyata untuk donor plasma dan keping darah membutuhkan waktu sekitar 90-120 menit. Cukup lama jika dibandingkan dengan donor darah 400ml yang hanya membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit. 

Saya cukup putus asa saat itu. Hampir satu tahun saya tidak mendatangi lagi tempat donor darah terdekat. Sempat bermaksud untuk donor darah ketika mudik ke Bandung bulan Desember tahun lalu, tapi nyatanya tidak sempat. 

Padahal kalau kita datang ke tempat donor darah, mereka menyediakan mesin penjual minuman dan eskrim otomatis secara gratis. Termasuk beberapa rak buku penuh dengan komik dan majalah. Ada juga pojok bermain anak lengkap dengan mainannya. Tempat ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk menghabiskan waktu dengan keluarga. 

Maksudnya, anaknya main, bapaknya bisa baca komik sambil menunggu giliran donor. Hehehe. 

Hingga akhirnya, ketika ada bis unit donor darah mampir ke kantor April lalu, meski khawatir akan ada penolakan kembali, saya memberanikan untuk mencoba donor darah lagi.

Berbeda dengan masa-masa awal kedatangan di Jepang, makanan saya sudah lebih beragam (meski tetap tidak ada batagor dan martabak yaa…), saya yakin kadar hemoglobin ada dalam kondisi normal. 

Pertama, saya daftar dulu di meja yang tersedia di luar bis. Saya pun mendapatkan sebotol minuman olahraga di sini. Jangan harap ada mesin penjual otomatis gratis yang bisa kita datangi sepuasnya ya. 

Setelah itu saya masuk ke bis untuk memindai sidik jari, mengisi angket yang tersedia melalui layar sentuh, memeriksa tekanan darah, wawancara dengan dokter, dan memeriksa darah. 

Dan benar saja, hasil uji darah menyatakan hemoglobin saya normal dan layak untuk donor darah. Akhirnya, setelah hampir dua tahun tinggal di Jepang, berhasil juga saya donor darah di sini. 


Selesai donor darah, saya mendapatkan cindera mata berupa alas tetikus dan diberitahu bahwa hasil uji darah akan dikirim melalui pos ke alamat yang terdaftar. Dalam waktu beberapa hari, hasil uji darah pun tiba. Semuanya normal. Saya pun mendapat ajakan untuk donor darah kembali dalam beberapa waktu ke depan. 

Melihat populasi Jepang saat ini, saya berharap semoga kedepannya Palang Merah Jepang pun mempermudah prosedur terkait kemampuan bahasa Jepang yang merupakan hambatan paling awal dan umum bagi warga asing. 

Jadi warga asing pun dapat melakukan donor darah di Jepang asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Ayo donor darah dimanapun kita berada!

Comments